Sebenarnya sudah lama saya
mempunyai keinginan untuk berbuat baik membantu sesama yang membutuhkan donor
darah. Seperti halnya ketika ada saudara yang sakit kanker kemudian diharuskan
transfusi darah. Biasanya pertama-tama akan mencari donor dari lingkungan
keluarga terlebih dahulu. Jika tidak ada baru kemudian mencari ke PMI. Namun
bukan perkara yang mudah karena stok yang ada di PMI terkadang tidak cocok atau
bahkan sering kali kosong. Akan tetapi setiap kali hendak berangkat menuju ke
PMI selalu terbayang tajamnya jarum suntik yang menusuk nadiku sehingga muncul rasa takut. Sepertinya
ngeri banget. Hii..... Maklumlah, seumur hidup jarang sekali disuntik
jarum.Cuma hitungan jari saja.
Hingga suatu saat ketika saya
sedang di rumah berdua dengan istriku, tiba-tiba ada pesan BB di HPku. Ketika
kubaca ada broadcasting dari temanku
yang sedang urgent mencari darah O untuk temannya. Ternyata stok yang ada di
PMI untuk darah O kosong. Sudah dicari kemana-mana, rupanya golongan darah O
ini sulit sekali carinya.
Seingatku golongan darahku AB sementara istriku golongan darahnya O. Berangkat dari niat membantu orang lain akhirnya memupuskan rasa takut saya untuk melakukan donor.
“Kan golongan darahmu O”: begitu kataku ke
istriku. Namun rupanya istriku takut juga, bahkan lebih takut dari saya..Hehee...
“Kamu saja yang donor... kan sudah lama ingin donor. Ayo kutemeni” ujar istriku.
Akhirnya dengan kata sepakat berangkatlah
sore itu kami berdua ke PMI. Jam menunjukkan pukul 14.10. Kurang dari 10 menit
sudah sampai. Begitu memarkirkan motor
kami langsung menuju ke pintu utama gedung PMI Mojokerto yang ada di dekat
alun-alun. Sewaktu masuk kami agak terkejut, terlihat petugas-petugasnya sedang
makan siang gumbulan di pojok ruangan
dengan cuek dan santainya. Tidak ada satupun petugas yang menyambut
kedatangan kami. “Huh..Koyok nang omahe
dhewe ae” pikirku. Lupa kalau disitu itu ruang publik. Akhirnya kami berdua
duduk di kursi sofa yang ada di ruangan itu menunggu mereka selesai makan.
Setelah beberapa saat akhirnya
salah satu di antara mereka menghampiriku dan menanyakan maksud kedatangan
kami.
“Mau donor darah mbak” kataku kepadanya.
“Oh.. isi formulir dulu
pak..”katanya
Akhirnya kami disodori lembaran formulir berwarna kuning untuk diisi. Disitu memuat pertanyaan tentang riwayat kesehatan disamping data pribadi tentunya. Setelah selesai diisi formulir itu kami serahkan kembali ke petugas tadi.
“Sudah mbak..” kataku sembari menyerahkan formulir yang terisi.
“Sekarang cek darah ya pak...”
kata petugas tadi sambil mempersilahan duduk di hadapannya. Tangannya lalu
meraih alat untuk mengambil sampel darah
kemudian menarik jari tengan kananku. “Kalau nggak salah golongan darah saya AB
mbak...” kataku kepada petugas di hadapanku.
“Wah kalau AB nanti ditunda dulu saja ya pak soalnya stoknya banyak” katanya.
“Oh gitu ya mbak. Kalau O?”
tanyaku
“Kalau yang lainnya bisa
sekarang. Kalau O memang jarang ada. Ini sekarang aja ada 8 kantong tapi sudah
dibooking semua” Jawabnya.
“Ooh pantesan temanku tadi nyari
kemana-mana nggak dapat. Kasihan ya pasien yang golongan darahnya O” kataku
dalam hati.
Mak cethut..begitu alat tersebut ditempelkan ke jari dan ditekan tombolnya. Darahku keluar, rasanya seperti digigit semut panas. Sedetik kemudian dia mengambil sampel darah dengan alat seperti selang kecil yang ditempel ke jari kemudian dipindahkan ke slide. Kemudian ditetesi dengan semacam reagent kemudian slide itu digoyang-goyangkan. Kulihat salah satu sisi sampel darah itu menggumpal sedang sisi satunya tidak.
“Bapak golongan darahnya B, Hb
nya 14,8 normal” begitu kata petugas tadi setelah melihat hasil test sampelnya.
Ooh..rupanya ingatanku salah. Selama ini yang kuingat golongan darahku AB. Maklum sudah 5 tahun yang lalu waktu itu ketika bikin SIM C.
Setelah itu kami disuruh menunggu
di ruang duduk sofa yang tadi. Setelah kira-kira 10 menit petugas tadi
memanggil kami lagi.
“Monggo pak..”kata petugas tadi
yang umurnya kira-kira baru 20 tahun.
Akhirnya kami masuk ke sebuah
ruangan yang cukup besar dengan beberapa bed tempat donor darah dilakukan.
“Mau tangan yang kanan apa kiri
pak”: tanya petugas tadi kepadaku.
“Yang kanan saja mbak” jawabku.
Setelah itu saya berbaring di bed kanan pojok sambil mengulurkan lengan. Sementara
istriku duduk di kursi di samping bed. Sejenak petugas tadi melingkarkan alat
pengukur tensi ke lengan kemudian mulai memompanya.
“Tensinya normal 120/90, jadi donor
bisa diteruskan” katanya
“Oke siap. Tapi nanti saya minta
alat-alatnya yang steril ya mbak... Saya takut tertular HIV/AIDS”. Kataku ke
petugas.
“Oh..pasti pak. Nanti jarum yang
dipakai langsung dari kantong darahnya kok pak. Jadi nggak pake jarum bekas”
Jelas petugas tadi sambil tersenyum menunjukkan kantong yang akan dipakai untuk menampung darah.
Pada akhirnya babak yang cukup mendebarkan terjadi. Ketika saya menoleh ke kanan. Whaaa..ngerii..!! Jarumnya sebesar lidi sapu. Tak terasa telapak tanganku sudah keluar keringat. Segera aku menoleh ke kiri supaya tidak melihat jarum tadi menusuk nadiku. Beberapa detik kemudian terasa seperti ada yang mencubit bawah lenganku..Ooh ternyata tidak sesakit yang kubayangkan. Lega rasanya....
“Nanti kalau pusing bilang saja
ya pak, nggak usah diterusin”
“Iya..!”kataku sambil tersenyum
kecut. Saya jadi ingat waktu mengisi formulir tadi. Disitu tercantum
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada pendonor darah. Pingsan salah
satunya.
“Nanti kalau pingsan ada ambulan
to?” kataku kepadanya. Kubayangkan saya pingsan lalu dibawa ke rumah sakit.
“Wah, kalau bisa jangan sampai
pingsan pak..” katanya sambil tertawa. Kemudian petugas tadi meninggalkan kami
di ruangan berdua.
Alat pemompa darah yang bentuknya seperti pelana kuda, bergerak
jungkat-jungkit. Didekatnya ada kantong darah yang sudah mulai terisi. Disitu saya
ditemani istriku sambil bercanda.
Beberapa saat setelah itu ada ibu-ibu masuk ruangan sendirian kemudian duduk
dan berbaring di bed dekat kami.Tidak berapa lama kemudian disusul oleh petugas tadi sambil memasang alat
tensi. Kami tahu ibu-ibu tadi mau donor darah.
Rupanya ibu-ibu tadi sudah sering mendonorkan darahnya. Katanya badannya lebih segar dan tidak kemeng-kemeng karena sering donor darah. “Saya disuruh anak saya donor, ya akhirnya saya nurut saja” katanya ibu tadi. Dalam hatiku berkata: bisa jadi ibu itu merasa lebih sehat karena mendonorkan kolesterolnya juga. Dan darah di tubuhnya berganti darah yang baru. Begitu kali ya..hehee.
Ketika lagi asyik berbincang
dengan ibu tadi, tiba tiba petugas tadi bilang” Waduuh bu..tensi ibu di bawah
normal. Cuma 70. Ibu jalan-jalan saja dulu”.
Saya nyeletuk ”Makan sate dulu
bu, biar tensinya naik. Ibu tadi hanya tertawa saja. “Atau keliling lapangan dulu”.
Akhirnya Ibu tadi pergi entah
kemana. Kasihan ya nggak jadi donor darah. Enggak jadi donor kolesterolnya
juga.
Setelah kira-kira 15 menit
kantong darah saya sudah terlihat penuh dan petugas yang tadi menghampiri kami.
“Sudah hampir penuh pak..” katanya
sambil memegang gunting untuk memotong selang jarum.
“Berapa cc to mbak yang diambil”
tanyaku kepadanya.
“350 cc” katanya lagi.
“Ooh,...tak kira sampai setengah
liter”
“Ah enggak pak.. nanti pingsan” katanya
sambil tertawa.
“Nanti kalau sudah selesai jangan
langsung berdiri ya Pak. Berbaring dulu kira-kira 5 menit baru berdiri. Kalau
pusing berbaring lagi” lanjutnya.
Selang sudah dipotong dan jarum sudah diambil. Rupanya operasi donor darah sudah selesai. Sepertinya.... saya tidak merasakan perubahan apa-apa. Biasa saja. Tidak pusing atau apa. Tidak juga lemas. Padahal tadi saya sempat membayangkan kalau pingsan atau lemas pulangnya diboncengkan istri saya. Kayak orang sakit sroke, begitu istriku sering bercanda kalau melihat ada bapak-bapak diboncengkan istrinya. Gengsi lah.....!
“Setelah ini silakan bapak ambil
bingkisan di meja depan ya pak..” kata petugas sambil membawa kantong darah
yang sudah terisi penuh.
“Iya mbak terima kasih.”
Ketika mau bangun tiba tiba ada sms. HPnya waktu itu dipegang istri saya lalu ditunjukkan “Terima kasih telah menjadi donor darah. Semoga amal dan kebaikan saudara diterima disisi Tuhan YME”
“Waduuuh..kayak ucapan buat orang
meninggal saja ya” kataku. Istriku hanya tertawa saja.
Sambil keluar ruangan aku
mengambil bingkisan yang ada di meja. Isinya sebotol P***ri, biscuit, 1 strip obat tambah darah
buatan M***sin, serta kaus berwarna merah.
“Terima kasih ya mbak”, ucap kami
sambil pamit keluar gedung menuju motor kami diparkir.
Begitulah pengalaman pertama kami melakukan donor darah. Ternyata tidak seseram yang kami bayangkan. Tidak ada kekhawatiran tertular penyakit. Dan yang penting, jika itu semua dilakukan dengan iklas dan senang hati, insyaallah menjadi barokah.
Amiien.
Komentar
Posting Komentar